Denyut Industri Nanas dari Harapan Masyarakat

SUBANG, JAWA BARAT — Sebuah bangunan kokoh berdiri di pinggir jalan utama Desa Cirangkong, Kecamatan Cijambe, Subang. Luasnya mencapai 1.000 meter persegi di atas lahan 2.000 meter persegi. Di dalamnya, puluhan pekerja lokal sibuk mengolah tumpukan buah nanas segar menjadi ekstrak jus dan selai berkualitas. Inilah Industri Komunal Olahan Nanas, atau dikenal sebagai IKON, sebuah terobosan ekonomi berbasis zakat produktif yang digagas oleh Dompet Dhuafa.

Dengan kapasitas pengolahan hingga 10 ton nanas segar per hari, IKON mampu menghasilkan 2,5-3 ton selai atau puree dan 1-2 ton konsentrat setiap harinya. Program ini bukan sekadar kegiatan industri, melainkan inisiatif pemberdayaan masyarakat yang menyatukan semangat wakaf, zakat, dan inovasi pertanian.

Industri berteknologi unggulan karya anak bangsa yang mampu mengolah berbagai komoditas buah-buahan dan hortikultura seperti nanas,  mangga, stroberi, ubi, singkong dan cabe menjadi selai, pasta dan jus konsentrat.

Seorang petani nanas binaan Dompet Dhuafa sedang melakukan panen nanas untuk IKON.
Proses panen nanas untuk IKON.

Sudah sejak lama, Kabupaten Subang dikenal sebagai tanahnya nanas. Hamparan kebun nanas terbentang sejauh mata memandang, menandakan bahwa Subang memang kaya akan potensi pertanian. Namun ironisnya, kekayaan itu belum cukup membuat petaninya hidup sejahtera.

Ketika panen raya tiba, justru banyak petani yang cemas. Harga nanas jatuh karena melimpahnya pasokan, dan para tengkulak kerap memanfaatkan situasi. Tak ada gudang penyimpanan yang layak, tak ada akses langsung ke pasar besar. Petani terpaksa menjual cepat agar buah tidak membusuk, walau dengan harga jauh di bawah harapan.

“Kadang hasil panen tak cukup untuk menutup ongkos tanam. Kalau sudah begitu, yang ada malah rugi,” ungkap Ade Suherlan, salah satu petani nanas.

Kondisi seperti ini bukan cerita baru. Ia berulang setiap tahun, dan menjadi lingkaran yang sulit diputus. Petani tetap menanam karena tak ada pilihan lain. Mereka pasrah pada sistem yang timpang, pada harga yang tak mereka kendalikan.

Ibu-ibu sedang membersihkan lahan nanas.
Proses pemilahan dan pengupasan nanas segar sebelum masuk IKON.

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, Dompet Dhuafa datang membawa harapan. Tahun 2014, lembaga filantropi ini membebaskan lahan seluas 10 hektar di Desa Cirangkong sebagai bagian dari program wakaf produktif. Lahan itu ditanami nanas dan sebagian dijadikan sebagai lokasi peternakan domba.

Namun, program ini tak berhenti pada pertanian. Dompet Dhuafa melihat satu peluang besar yang selama ini terlewatkan, yaitu bagaimana jika nanas tak hanya dijual sebagai buah mentah, tetapi diolah menjadi produk bernilai tambah seperti jus dan selai?

Gagasan ini perlahan-lahan diwujudkan. Butuh waktu, tenaga, dan komitmen. Hingga akhirnya, pada Kamis, (26/06/2025), pabrik pengolahan buah bernama IKON ini mulai beroperasi. Pabrik pertama Dompet Dhuafa di sektor food processing ini mampu mengolah hingga 10 ton nanas segar setiap harinya.

Begitu pagi menjelang, mobil-mobil bak terbuka mulai berdatangan dari kebun, membawa muatan penuh nanas. Nanas-nanas yang telah dikupas dan dibersihkan ditimbang satu per satu, lalu dimasukkan ke mesin pemeras. Di ruang produksi, deru mesin terdengar seperti lagu industri yang terus berdetak.

Proses pengolahan nanas di IKON.
Proses pengolahan nanas di IKON.

Beberapa ruang dipisahkan oleh dinding dan mika, menjaga kebersihan dan standar produksi. Di sana, nanas-nanas dipisahkan antara sari dan kuenya. Sari nanas diolah menjadi ekstrak jus, sementara cake-nya dijadikan sebagai selai. Hampir tak ada yang terbuang.

Hasil akhir dikemas rapi di ruang pengemasan. Setelah itu, produk disimpan di gudang pendingin, siap dikirim ke industri lain yang akan melanjutkan prosesnya.

“Produk akhir kami sampai pada tahap ekstrak jus dan selai. Nantinya, industri lain yang akan melanjutkan ke tahap distribusi konsumen. Kami sudah punya mitra pasarnya,” jelas Kuswolo, Manajer Operasional IKON.

Produk akhir kemasan selai nanas IKON.
Ade Suherlan, salah satu petani nanas, melakukan panen nanas di kebunnya.

Hal yang membuat IKON istimewa bukan hanya hasil produksinya, tetapi juga semangat yang melandasinya. IKON adalah sebuah konsep industri komunal, di mana mayoritas kepemilikan saham, yaitu sebesar 97 persen dipegang oleh masyarakat penerima manfaat, atau mustahik. Dompet Dhuafa hanya memiliki 3 persen untuk keperluan perawatan mesin dan pemantauan keberlanjutan program.

Artinya, para petani tak hanya menjual nanas. Mereka adalah ‘pemilik’ pabrik. Mereka ‘memiliki’ saham. Mereka ikut menikmati hasil usaha.

Dompet Dhuafa juga membentuk koperasi lokal yang bertugas menyortir dan menyeleksi buah yang layak masuk industri. Warga dilibatkan sebagai tenaga kerja di industri, setelah melalui pelatihan dan asesmen keterampilan. Semua berjalan dalam semangat kolaborasi, transparansi, dan pemberdayaan.

IKON bukan hanya bangunan dengan mesin-mesin modern. Ini adalah simbol perubahan. Ini membuktikan bahwa zakat dan wakaf bukan hanya untuk konsumsi, tetapi juga bisa jadi penggerak ekonomi jangka panjang. IKON ingin mendorong petani mampu mandiri, bahwa masyarakat bisa mengelola industrinya sendiri. IKON membangkitkan rasa percaya diri. Mereka, warga desa yang dulu hanya berada pada hulu penyuplai hasil panen, kini memiliki industri hilirnya sendiri.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *