JAKARTA — Jelang menginjak usia ke-32 tahun, Dompet Dhuafa menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Memasuki Era Baru Zakat yang Berdampak Lebih Besar dan Berkelanjutan” pada Selasa (1/7/2025), di Sasana Budaya Dompet Dhuafa, Jakarta. FGD ini fokus mendorong mustahik bertransformasi menjadi pelaku industri yang berkelanjutan untuk merumuskan arah baru dalam pengelolaan zakat khususnya di bidang ekonomi produktif, melalui pengembangan model industri komunal.
FGD ini juga dihadiri dan diikuti sejumlah tokoh penting dari kalangan pemerintah, akademisi, LAZ, serta media, seperti Noor Achmad, Ketua BAZNAS Republik Indonesia, Jaih Mubarok, Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati, Yudi Latif, Anggota Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Wildan Dewayana, serta Haryo Mojopahit, Managing Director IDEAS.
Selain itu, hadir pula para penanggap diantaranya Erick Yusuf, Wakil Ketua LSPBI MUI, Dewan Pembina MES DKJ, Mursida Rambe, Kepala KSPPS BMT MT Beringharjo dan Haidar Bagir, Dewan Pakar Dompet Dhuafa.
Situasi ekonomi nasional yang tengah mengalami tekanan, ditandai dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), terbatasnya lapangan kerja, serta meningkatnya angka kemiskinan, menjadi latar belakang utama digelarnya diskusi ini.


Sebagai lembaga filantropi Islam yang telah berkiprah selama lebih dari tiga dekade, Dompet Dhuafa merasa perlu mengambil peran lebih signifikan melalui penyaluran zakat dalam bentuk program-program ekonomi yang berdampak nyata.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Dompet Dhuafa memperkenalkan sebuah gagasan baru bernama Dompet Dhuafa Goes Communal Industry, yaitu model industri yang dimiliki dan dikelola oleh para mustahik. Gagasan ini merupakan bentuk implementasi zakat produktif yang lebih “advance”, dengan mengedepankan konsep kepemilikan bersama dan pemberdayaan komunitas berbasis industri.

“Dalam pengelolaan program, kita sudah saatnya bergeser ke orientasi pemberdayaan jadi komunal industri adalah industri yang dimiliki bersama oleh komunitas yang di dalamnya terjadi kerjasama untuk meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan dalam hal ini yang kami maksud komunitas itu adalah mustahik, bagaimana caranya kita mulai bergerak ke level pemberdayaan di orientasi industri,” kata Ahmad Juwaini sebagai Ketua Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika, dalam sambutannya.
Dalam fase ini, pendekatan pemberdayaan dilakukan dengan mengusung semangat filantropreneur, sebuah istilah yang memadukan nilai-nilai filantropi dan kewirausahaan. Pendekatan ini diyakini sebagai langkah strategis untuk memaksimalkan pemanfaatan zakat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar para mustahik, tetapi juga untuk mendorong kemandirian mereka secara ekonomi.

“Dompet Dhuafa sudah memasuki era filantropreneur, filantropi dan entrepreneurship digabung, tapi lengkapnya profetik, sociotechnopreneurship, ini bukan sekedar menghimpun dana, tapi bagaimana lembaga filantropi islam yang berkhidmat dengan pemberdayaan kaum dhuafa dengan pendekatan budaya, dengan pembiasaan,” imbuh Parni Hadi, Inisiator dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa.

Di sisi lain, pengelolaan dana zakat pun diarahkan untuk semakin mengedepankan prinsip efisiensi dan efektivitas, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada para muzakki. Dengan semangat ini, Dompet Dhuafa berkomitmen untuk terus memperkuat peran filantropi dalam pengelolaan masyarakat dan pengembangan dana sosial secara lebih berkelanjutan.
“Sudah saatnya kita berperan yang sifatnya bukan sekedar karitatif yang sekedar sehingga kita perlu yang spiritnya filantropreneur tadi memberdayakan,” sambung Ahmad Juwaini.

Seperti Industri Komunal Olahan Nanas (IKON) yang merupakan terobosan ekonomi berbasis zakat produktif yang digagas oleh Dompet Dhuafa dan berada di Subang, Jawa Barat. Inisiatif ini menghadirkan model industri komunal. Sebelumnya, buah nanas dari daerah ini hanya dijual mentah ke pasar tradisional. Namun melalui IKON, nanas diolah menjadi dua produk bernilai tambah, yaitu selai dan konsentrat nanas. Kedua produk ini tidak hanya menyasar pasar industri dalam negeri, tetapi juga pasar ekspor, sehingga membuka peluang ekonomi yang lebih luas bagi para mustahik sebagai pelaku usaha sekaligus pemilik industri.
Ketua Badan Amil Zakat Nasional Republik Indonesia, Noor Ahmad menyampaikan gerakan ini perlu dirumuskan bersama, sejalan dengan aspirasi pemerintah dalam upaya pengentasan kemiskinan, khususnya kemiskinan ekstrem. Sudah saatnya bergotong royong menciptakan jalan agar para fakir miskin dapat bertransformasi menjadi muzakki. Dengan kolaborasi antar-LAZ, potensi pemberdayaan akan semakin besar
“Memang perlu kita perhatikan bersama-sama, bagaimana seorang fakir muslim ini kemudian bisa terlepaskan, bagaimana pemberdayaan itu bisa kemudian moving of mustahik kemudian menjadi muzakki, ada satu pergerakan juga ada perubahan juga dari seorang mustahik menjadi muzakki,” ujar Noor Ahmad melalui video konferensi secara daring.

Sejalan dengan hal tersebut, untuk menguatkan gerakan ini kata Waryono Abdul Ghofur selaku Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama Republik Indonesia perlu peta (roadmap) yang lebih jelas lagi terkait industri komunal.
“Kita perlu berbagi tugas sehingga tidak overlapping bagaimana negara hadir dan lembaga juga hadir, kolaborasi adalah sebuah keniscayaan, LAZ Nasional itu memang harus menguatkan kolaborasi dan berbagi tugas. Sehingga fasilitasi kepada orang-orang miskin itu dari hulu sampai hilir,” ujar Waryono.

Dompet Dhuafa menyampaikan harapan agar kegiatan ini menjadi titik tolak sinergi dan inovasi lintas lembaga dalam memaksimalkan potensi zakat. Bukan hanya sebagai bantuan konsumtif, tetapi sebagai modal produktif yang mampu menggerakkan perekonomian mustahik menuju kemandirian. Dompet Dhuafa bertekad menjadikan zakat sebagai instrumen strategis dalam membangun keadilan ekonomi serta memperkuat ketahanan sosial masyarakat Indonesia.